
BERITABARU214 - Orang tua murid SMA Gonzaga, Jaksel menggugat pihak sekolah karena anaknya tidak naik kelas 12. Kejadian serupa juga terjadi di kampus Universitas Indonesia (UI). Seorang dosen menggugat kampusnya sebesar Rp 5 miliar karena tidak lulus ujian doktor.
Sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Agung (MA) yang dilansir websitenya, Rabu (30/10/2019), gugatan itu dilayangkan dosen FISIP UI, Ari Harsono. Ia menggugat Ketua Departemen Filsafat dan Ketua Penguji Disertasi Prof Riris Toha Sarumpaet. Ikut digugat pula kopromotor dan penguji Prof Soejanto Poesowardojo dan Selu Margaretha Kushendrawati. Penguji ujian doktor juga ikut digugat, yaitu Gadis Arivia, Alexander Seran dan Mikael Dua.
Siapakah Ari? Ia merupakan dosen tetap UI sejak 1990. Pada 2010 menjadi mahasiswa S3 UI dan meraih IPK 3,68.

Pada 3 Juni 2015, Ari menjalani ujian disertasi di Gedung VII lantai 1 Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dengan judul disertasi 'Paradigma Kepemimpinan Pendapat dalam Masyarakat-Kuminkatif Berbasis Rasionalitas Komunikatif Jurgen Habermas'.
Hasilnya, Ari dinilai penguji tidak lulus, tapi tidak disertai alasan tidak lulus. Disertasi itu diberi nilai 48,3 (D), sementara batas nilai lulus adalah 70 (B). Satu penguji yaitu Donny Gahrail Adian memberi nilai 75 (B+) atau lulus.
Atas hasil ujian itu, Ari mencoba mencari tahu kejanggalan mengapa dirinya tidak lulus disertasi. Surat menyurat ia layangkan ke Dekan FIB UI, Rektor UI serta Ketua Dewan Guru Besar YI. Namun balasannya tidak ada yang bisa menjawab mengapa dirinya tidak lulus.
Beranjak dari fakta di atas, Ari memilih mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Depok. Ia menggugat kampusnya sebesar Rp 5 miliar. Dengan rincian:
1. Kehilangan honor mengajar, Rp 51 juta.
2. Tertundanya Ari menjadi guru besar, Rp 120 juta.
3. Tambahan Tunjangan fungsional, Rp 13.500.000
4. Tertundanya kenaikan pangkat, Rp 4.950.000
5. Kerugian biaya transportasi dan akomodasi dismisal di PTUN Bandung, Rp 500 ribu.
6. Kerugian biaya transportasi ke PTUN Jakarta, Rp 3.500.000
7. Kerugian biaya transportasi ke kantor Komisi Informasi, Rp 300 ribu.
8. Biaya alat tulis, Rp 400 ribu.
9. Kehilangan honor mengajar Rp 16 juta.
10. Biaya gugatan di PTUN sebesar Rp 4 juta.
11. Kehilangan penghasilan honor membimbing mahasiswa, Rp 8 juta.
12. Kehilangan penghasilan riset Rp 80 juta.
13. Biaya jasa advokat, Rp 45 juta.
14. Biaya komunikasi Rp 400 ribu.
15. Kerugian immateril Rp 4,6 miliar.
Pada 27 Oktober 2018, PN Depok memutuskan menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya. Ari tidak terima dan mengajukan banding.
Pada 4 September 2019, Pengadilan Tinggi (PT) Bandung juga menolak gugatan itu. Duduk sebagai ketua majelis Muchtadi Rivaie dan anggota Joko Siswanto dan Yulisman.
Sebelumnya, Ari juga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pada 30 Maret 2017, PTUN Jakarta menyatakan tidak menerima gugatan tersebut. Putusan itu dikuatkan di tingkat banding dan kasasi.
0 Comments:
Posting Komentar