
BERITABARU214 - Hampir empat bulan lamanya Nur menjadi penghias sore di bibir pantai semenjak suaminya, Parmin tidak pulang dari pelayarannya. Di bawah rembang langit ia khidmat berdiri sembari merapal doa-doa sementara jari kakinya yang tanpa alas dibiarkan bercumbu dengan lidah ombak.
Tidak seperti minggu pertama yang keberadaannya di pantai dianggap ganjil oleh orang-orang, kini keberadaan Nur sama halnya dengan senja yang selalu turun sore hari. Begitu lumrah. Kini tak ada lagi lontaran pertanyaan kepada dirinya kecuali hanya sekadar sapaan belaka.
Tapi diam-diam, beberapa orang mulai menganggapnya perempuan sinting.
***
Empat bulan yang lalu, kala fajar bersemayam di lembaran langit, Parmin berangkat berlayar sendirian tanpa ditemani kawannya, Narto. Biasanya Parmin selalu mengajak Narto ketika hendak melaut, karena dia butuh bantuan untuk menarik kembali pukat yang telah dibentangkannya sore kemarin. Nur, istrinya, mengantarnya ke pesisir dengan membawakan bekal nasi dan ikan asin yang disusun rapi di dalam rantang. Sebelum Parmin melarungkan diri bersama kapal, Nur mencium tangan suaminya sembari merapal doa. Karena seperti nasib, laut tak bisa ditebak baik-buruknya.
Sore hari Nur sudah menunggu Parmin di bibir pantai. Burung-burung camar berterbangan meliuk-liuk di atas ombak mencari ikan-ikan kecil. Sesekali mereka menukik ke dalam air kemudian kembali terbang dengan ikan terjepit di antara paruh mereka. Perahu-perahu nelayan mulai mendekati pantai. Beberapa sudah ada yang bersandar terpasang jangkar. Namun, sampai langit merah disapu kegelapan, perahu Parmin tak kunjung menepi. Nur gelisah. Ia kemudian bertanya kepada beberapa nelayan, apakah melihat Parmin atau tidak. Tapi mereka semua menggeleng kepala.
Seorang nelayan bercerita kepada Nur kalau di tengah laut lepas tadi tiba-tiba terjadi cuaca buruk. Langit gelap. Ombak yang tadinya hanya beriak tiba-tiba mengganas. Sebelum terjadi badai, para nelayan merapat ke Pulau Gerumbul, sebuah pulau kecil yang biasa digunakan nelayan untuk beristirahat atau sandaran darurat ketika cuaca buruk.
Seorang nelayan yang baru saja menyandarkan kapal di tepian berkata kalau saat cuaca buruk itu Parmin masih menarik pukatnya dari laut. Saat diajak untuk merapat ke Pulau Gerumbul, Parmin menyuruh nelayan itu duluan.
"Saat itu aku melihat Parmin masih menarik pukatnya. Ketika kuajak untuk merapat malah dia menyuruhku duluan. Aku kira sebentar lagi pukatnya selesai dan segera menyusul. Tapi di gerumbul aku tidak melihatnya sama sekali."
Nur semakin cemas. Pikirannya mulai kacau membayangkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi kepada suaminya.
Ketika adzan maghrib berkumandang dari surau, Nur akhirnya memutuskan untuk pulang dan menunggu Parmin di rumah. Namun, hingga malam semakin jelaga dan berganti fajar, suaminya itu tak kunjung tiba juga. Sorenya, Nur menunggu lagi di bibir pantai, tapi Parmin dan perahunya tetap tidak bersandar. Dan begitu seterusnya. Nur tetap bertahan menunggu suaminya. Namun, yang ia dapati hanyalah burung-burung camar yang kelaparan dan senja yang dilahap mimpi.
***
"Untuk apa kau tiap sore menunggu suamimu itu, Nur? Apa kau tidak dengar kabar kalau orang-orang mulai menganggapmu gila? Sadarlah! Parmin sudah mati dimakan laut. Lagi pula usiamu masih muda. Wajahmu masih cantik. Lebih baik segera kau menikah lagi dan beri aku cucu. Kemarin Pak Tolib menemuiku hendak meminangmu."
Karena Parmin tak kunjung pulang, ibu Nur membujuknya untuk menikah lagi. Perempuan tua itu ingin Nur menikah dengan Pak Tolib, seorang saudagar beristri tiga dan punya banyak kapal.
"Aku akan tetap menunggu Kang Parmin. Aku yakin dia akan pulang."
"Sampai kapan kau akan menunggu? Sampai kamu jadi janda tua?! Sadar, Nur! Sampai air laut menjadi tawar, Parmin tidak akan pulang. Dia sudah mati. Lebih baik kau terima tawaran Pak Tolib. Dia kaya. Hidupmu akan kecukupan. Kau akan jadi nyonya besar di rumahnya."
"Aku tidak akan murtad dari cinta Kang Parmin, Mak."
"Cinta!" Ibu Nur mendengus.
0 Comments:
Posting Komentar