
BERITABARU214 - Jika tahi ayam salah tempat, menempel di teras depan rumah, sedangkan yang punya rumah tidak mengetahuinya, sudah sepatutnya yang punya rumah mengucapkan terima kasih kepada pihak yang menemukan dan memberitahunya, dengan cara apapun.
Bayangkan jika tahi ayam itu ditemukannya nanti setelah semakin membusuk, setelah melekat kuat melebihi cengkraman aibon, merekat banyak orang yang bertamu ke rumah itu, keadaanya akan sangat berbahaya. Apalagi, jika ia tidak ditemukan sama sekali. Orang hanya akan menghirup baunya. Barangkali orang juga akan mengira, betapa bau tubuh si pemilik rumah.
Jadi, lepas dari motif apapun di satu pihak dan/atau praduga apapun pada lain pihak, si penemu telah melakukan pencegahan, agar berbagai pihak yang berkepentingan dengan rumah dan pemiliknya tidak terbungkus lebih dalam oleh bau busuk tahi ayam itu. Si penemu telah menyebabkan pemilik rumah, atau siapapun yang peduli, untuk mengelap itu ayam punya tahi.

Idealnya, memang, si penemu tahi ayam itu hanya memberi tahu si pemilik rumah, bukan mengumumkannya ke tetangga, apalagi menyebar berita ke setiap orang yang lewat. Seharusnya si penemu ingat pesan "salafiah" tukang bakso: "enak kasih tahu teman, tidak enak kasih tahu kami". Potong yang pendek, sambung yang panjang.
Tapi, ya, di zaman meleset--meminjam istilah Bung Karno--seperti sekarang ini, adalah mustahil mengharapkan sikap seperti itu. Toh, para penemu kesalahan dan/atau para perasa penemu kesalahan punya dalih yang menurutnya bisa sahih: "jangankan dibisiki, diteriaki saja mereka tidak mendengar".
Itulah zaman ini: zaman di mana kita berjalan ke arah berlawanan dengan titah hukum. Jika hukum meminta kita menyusun praduga tidak bersalah, kita lebih suka menduga bersalah. Hukum meminta kita berprasangka baik, kita lebih sigap untuk berprasangka buruk.
Barangkali, di zaman meleset, semua memang telah menjadi buruk. Zaman meleset adalah era bagi tahi ayam.
*) Acep Iwan Saidi, Pengajar Semiotika Desain, Media, dan Kebudayaan ITB
0 Comments:
Posting Komentar