
BERITABARU214 - Setelah dipublis, naskah pidato Mendikbud untuk peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 25 November mendadak viral. Selain keluar dari jalur atau kebiasaan pidato resmi seorang pejabat negara, apalagi setingkat menteri, teks pidato yang akan dibacakannya pada puncak HGN itu juga terbilang singkat namun sangat menyentuh persoalan mendasar guru itu sendiri.
Penunjukan Nadiem Makarim sebagai nahkoda Kemendikbud memang telah keluar dari kebiasaan. Penuh kejutan. Bahkan setelah dilantik pun, menteri yang mewakili generasi milenial itu masih memberi kejutan dengan program 100 harinya. Bukan berisi berbagai daftar terobosan atau rencana kerja. Tetapi "hanya" diisi dengan belajar dan mendengar.
Begitu juga dengan pidatonya itu. Tanpa perlu tafsiran mendalam, membacanya sekilas saja kita sudah tersentak dengan realitas yang disampaikan. Bukan karena realitas itu adalah hal yang baru. Bisa jadi kita tahu dan sadar bahkan jauh sebelum sang menteri lahir. Namun yang membuat kita semua tersentak, terutama para guru adalah karena yang menyampaikan realitas itu seorang menteri plus melalui pidato resminya.
Dari pidato itu juga tentu akan lahir ruang kegembiraan. Perlahan tapi pasti kita mulai mengetahui cara pandang sang menteri terhadap akar persoalan pendidikan bangsa. Satu kata: guru. Mas Menteri tahu persis jurang antara kemuliaan dan kesulitan yang dirasakan seorang guru. Singkat kata, intinya kita secara aklamasi seperti ingin mengatakan ini adalah harapan baru di tengah "terjajahnya" sistem pendidikan di Indonesia selama ini.
Menanti Kesiapan Guru?
Para guru tentunya tidak ingin harapan ini berakhir persis bersamaan dengan usainya gegap gempita peringatan HGN. Juga tidak ingin hanya sekadar terekam jejaknya melalui teks pidato semata. Jutaan guru di Indonesia bahkan ingin sesegera mungkin untuk bisa merealisasikan "langkah pertama" seperti yang diharapkan Mendikbud.
Namun pertanyaannya apakah guru telah siap untuk melakukan perubahan tanpa menunggu perintah? Selain adanya faktor "kenyamanan" yang sudah menahun, kita juga harus jujur bahwa guru memiliki banyak pemberi perintah alias atasan. Guru secara tidak langsung juga masih menempatkan dirinya sebagai "bawahan". Indikatornya dapat dilihat, ketika dipanggil, misalnya oleh kepala dinasnya, pasti langsung bergegas meninggalkan kelas. Nasib anak biasanya disubstitusi dengan tugas atau guru pengganti. Dipandang sesederhana itu.
Begitu juga dengan kehadiran guru di kantor pemerintahan, misalnya ke kantor dinas pendidikan untuk mengurus satu dan lain hal. Perhatikan bagaimana guru dilayani dan disambut. Sebaliknya, jangan ditanya bagaimana guru melayani dan menyambut para tamunya yang hadir di sekolah. Apalagi jika sang tamu itu adalah kepala dinasnya. Belum lagi jika yang berkunjung itu gubernur, bupati, camat, atau lurahnya.
Padahal sejatinya guru itu sendiri sebuah jabatan fungsional. Aktivitas di kelas seharusnya merupakan otoritasnya. Bebas dari beban perintah jika ia masih berjibaku dalam "ruang perawatan" bersama para siswa. Tidak bisa diganggu oleh siapapun, termasuk panggilan dari kepala dinasnya. Tapi apakan daya, buah demokrasi telah menempatkan guru berada dalam garis instruksi yang nyata.

Langkah Selanjutnya?
Nadiem Makarim sangat sadar akan hal itu. Oleh karena itulah ia merangkai kata, "Namun, perubahan tidak dapat dimulai dari atas. Semuanya berawal dan berakhir dari guru. Jangan menunggu aba-aba, jangan menunggu perintah. Ambil langkah pertama."
Namun, alangkah lebih bijaknya lagi pasca-pidato itu dengan segera Mendikbud bersama timnya untuk segera mengambil langkah selanjutnya. Di antara langkah tersebut adalah terkait dengan kesadarannya dalam memandang sosok guru selama ini.
Pertama, jika tahu bawa guru lebih sering diberi aturan dibandingkan dengan pertolongan, maka segera hapuskan atau revisi berbagai peraturan yang hanya menambah beban kerja guru. Beri pertolongan kepada guru agar bisa mendapatkan tunjangan profesinya tanpa harus melewati skema sertifikasi.
0 Comments:
Posting Komentar