
BERITABARU214 4- Karsiman pulang dengan langkah berat sambil menyeret mesin perahu dan jaring kosongnya pulang. Lelaki itu melangkah kecil-kecil, terlalu kecil untuk kaki panjangnya. Napasnya hanya keluar setengah-setengah seakan-akan setiap tarikannya adalah tarikan yang terakhir. Tulang rusuknya menonjol, terlihat dari kemeja kumal dengan kancing lepas yang ia kenakan.
Seperti hari-hari sebelum ini, lelaki tidak membawa hasil apapun dari laut. Ia pulang dengan tangan kosong dan harapan yang hampir habis.
Orang-orang menatap takjub bagaimana tubuh Karsiman yang hanya rangka dibalut kulit bisa menyeret mesin perahu buatan Jepang itu. Meski beberapa dari mereka merasa iba, namun tidak satu pun menolong. Bukan tega, tapi rumor bahwa Karsiman menjadi gila karena ditinggal mati istrinya sudah tersebar luas. Menurut rumor, tidak jarang Karsiman akan mengamuk dan menyerang siapa yang mendekatinya.
Beberapa tetangga berbisik satu sama lain dengan suara rendah saat Karsiman lewat. Betapa malang nasib Karsiman yang gila karena cintanya kandas. Padahal beberapa bulan lalu Karsiman adalah idola seluruh gadis kampung. Bukan hanya karena wajah tampan dan tubuh kekarnya, melainkan juga kepiawaiannya dalam melaut. Namun, sekarang yang tersisa hanyalah tubuh berjalan yang sudah kehilangan jiwa juga kewarasannya. Ketampanan dan tubuhnya yang kekar ikut hilang dan mungkin sebentar lagi nyawanya akan ikut hilang.
Meski tampak mustahil, pada akhirnya Karsiman berhasil membawa mesin perahunya pulang. Ia duduk di tanah setelah menyandarkan mesin yang susah payah ia bawa di tembok depan rumah. Kegilaan dalam diri Karsiman tidak lantas membuat lelaki itu bisa melawan keadaan fisiknya yang terus melemah. Meski begitu, ia sudah berjanji sampai mati tidak akan berhenti mencari Kamila.
Kamila yang cantik, Kamila yang pintar, Kamila pujaan hati Karsiman. Wanita malang itu jatuh dari perahu saat hendak ke kota. Meski jasadnya belum ditemukan sampai sekarang, seluruh warga desa sudah sepakat wanita itu telah meninggal. Hanya Karsiman yang tidak mau mengakuinya. Kalau lah ada setitik saja harapan bahkan jika itu adalah jasadnya. Walau di tengah laut yang tidak bisa diukur luasnya, Karsiman akan berlayar ke sana.
***
"Kalau ndak mau makan ya sudah mati saja sana!" Sarinem marah besar pada sang kakak. Wajahnya memerah dan napasnya tidak beraturan.
Baru saja ia letakkan piring berisi nasi dan lauknya di tikar tempat biasa Karsiman tidur dan langsung dilempar jauh-jauh oleh sang kakak. Mata Karsiman membulat, ia rapatkan badan kurusnya ke tembok seakan takut dan jijik dengan isi piring yang tadi ia lemparkan. Melihat ikan di atas piringnya, seakan melihat potongan tubuh Kamila. Kamila yang malang, mungkin jasadnya sekarang sudah dimakan ikan-ikan.
"Kan sudah dibilang kalau dia ndak suka makan ikan," kata Bapak mencoba menyabarkan Sarinem.
Bapak sudah tua, badannya hanya tulang yang dibalut kulit. Usia sudah melumat habis kegagahannya di masa muda. Kulitnya yang coklat khas masyarakat pesisir sudah kendur dan pada bagian wajah, lengan serta dada dipenuhi bercak cokelat tua akibat dulunya terus-menerus terpapar sinar matahari saat melaut. Kakinya sudah tidak sekuat dulu, sekarang ke mana-mana harus dibantu tongkat. Itu pun tidak bisa jauh-jauh karena napasnya sudah semakin pendek akibat kebiasaan merokok saat masih muda.
Karsiman anak sulungnya tidak dalam kondisi yang lebih baik. Tubuhnya semakin hari semakin mengurus, sudah hampir seperti tengkorak hidup. Satu-satunya tanda bahwa tubuh itu belum mati adalah mata cekungnya yang masih terbuka, melotot, seakan bisa keluar kapan saja dari rongga mata.
"Karsiman ini sakit, Pak," kata Sarinem yang kini memunguti nasi di lantai. "Berkabung juga ada batasnya. Sudah tiga bulan lewat, mau sampai kapan?"
"Hus! Jangan sampai dia dengar," Bapak melirik Karsiman kemudian merasa lega.
"Biar saja dia dengar, untuk apa menangisi si Kamila itu terus-terusan."
Sarinem memandang ke arah Karsiman, tidak sampai hati ia melihat kakak satu-satunya yang dulu gagah sekarang hanya tersisa rangkanya saja. Kalau saja Karsiman tidak mencintai Kamila atau cukup lah ia mencintai wanita itu sewajarnya saja tentu Karsiman akan memiliki nasib yang lebih baik.
Sarinem merutuki Kamila dalam hati. Wanita itu pantas mendapatkannya, ia pantas jatuh ke laut dan di makan ikan-ikan. Kamila itu hanya cantik di luarnya saja, otaknya mungkin cerdas, tapi hatinya mungkin hanya sebesar ikan teri. Masalahnya Karsiman sebaliknya. Itulah yang membuat Karsiman dengan bodohnya mengejar-ngejar Kamila dan membiarkan wanita itu mempermainkannya.
***
Tidak satu pun orang di kampung yang tidak mengetahui betapa besar cinta Karsiman pada Kamila. Begitu juga tidak ada satu pun orang di kampung yang tidak tahu bahwa Kamila hanya memanfaatkan cinta yang dimiliki Karsiman untuknya. Bahkan ketika Kamila pindah ke kota mengikuti orangtuanya saat remaja, Karsiman selalu menyusulnya setidaknya sekali dalam dua minggu. Tidak ada rintangan yang terlalu berat untuk Kamila bagi Karsiman. Lelaki bodoh itu bahkan bisa mengorbankan hidupnya kalau Kamila meminta.
Karsiman bangun dari tikar tempat sehari-hari berbaring untuk beristirahat. Siang ini ia akan mencari Kamila lagi di tengah laut. Meski tubuhnya gemetaran karena fisiknya yang masih lemah, lelaki itu tetap memaksakan diri.
Sarinem hanya bisa melihat kakaknya dengan tatapan putus asa. Membujuk Karsiman untuk tidak melaut demi mencari jasad Kamila adalah hal yang sia-sia. Ia letakkan begitu saja sarapan untuk lelaki yang dulu selalu menjadi pelindung hidupnya itu. Sekali pun dalam benaknya tidak pernah terpikirkan bahwa Karsiman akan hidup dengan menyedihkan seperti ini. Rasa marahnya terhadap Kamila muncul lagi.
Harusnya Kamila selamanya tidak menerima cinta Karsiman seperti yang selalu ia lakukan. Harusnya wanita itu terus saja menjadi wanita kota yang sombong dan memandang rendah Karsiman. Cukup lah sekadar bermain-main dengan memberikan harapan palsu pada sang kakak, biarlah Kamila memanfaatkan kakaknya sebatas untuk minta dibelikan hadiah mahal atau uang saku. Namun, pada akhirnya Kamila menerima cinta Karsiman, lebih mengejutkannya adalah gadis itu rela dinikahi oleh Karsiman.
"Jangan melaut saja, Bang hari ini," bujuk Sarinem.
Karsiman memandang Sarinem sebentar dengan tatapan kosong. Lalu melanjutkan makannya.
Sarinem menghela napas. Memang mustahil bicara pada orang gila.
***
Beberapa warga tetap saja terlihat takjub bagaimana tubuh Karsiman yang hanya tulang dibungkus kulit bisa menyeret mesin perahu yang berat. Sebagian warga lain bergosip dengan suara rendah ketika Karsiman lewat, mengulangi topik yang sama terus-menerus tentang betapa dulunya Karsiman adalah idola di kampung dan karena cinta semua yang dimilikinya hilang sudah. Sebagian sisanya pura-pura tidak lihat, tidak ingin menghakimi dan tidak ingin terlibat.
Kehidupan kampung berjalan seperti biasa, hanya ah dunia Karsiman yang terbolak-balik. Dengan kaki gemetarnya, lelaki itu menyeret mesin perahu. Entah berapa kali lagi atau entah berapa lama lagi ia bisa kuat untuk pergi ke laut mencari Kamila. Bukannya tidak sadar, ia sangat sadar bahwa tubuhnya kian hari kian lemah dan hanya tinggal waktu sampai ia tidak akan sanggup untuk berjalan lagi.
Tiba-tiba Karsiman merasakan pergolakan aneh dari perutnya, rasanya seperti ditinju berkali-kali. Memang akhir-akhir ini lambungnya sering sekali sakit tapi tidak pernah sesakit ini. Keringat dingin mulai membasahi tubuh Karsiman yang gemetaran dan mendadak pandangan lelaki itu menjadi semakin gelap. Hanya butuh beberapa menit sampai akhirnya Karsiman tidak sadarkan diri.
Warga yang meski awalnya takut-takut akhirnya mengerubungi Karsiman, semakin lama semakin banyak. Sarinem yang dipanggil oleh warga berlari dengan wajah memerah dan napas seperti tercekik.
"Abang!" Sarinem berteriak memanggil sang kakak. Berharap Karsiman bisa bangun karena mendengar teriakannya. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Karsiman dengan kuat hingga beberapa warga memegangi tangan gempal Sarinem.
"Karsiman belum mati, Nem," kata seorang warga yang khawatir guncangan Sarinem malah yang akan membunuh Karsiman.
Sarinem menyeka air matanya. Lalu minta tolong agar kakaknya segera dibawa ke rumah sakit pada warga.
Karsiman yang malang. Entah dosa apa yang ia lakukan hingga bertemu dengan Kamila jahanam itu. Dari awal, Sarinem tidak pernah menyukai Kamila. Sayangnya Karsiman terlalu mencintai Kamila hingga tidak peduli bahwa ia hanya mempermainkannya. Terlalu besar cinta Karsiman pada wanita jahanam itu, hingga Karsiman menutup mata meski tahu bahwa Kamila menghabiskan hartanya untuk berselingkuh dengan lelaki lain.
Setiap hari Sarinem berdoa, kiranya Tuhan membalikkan perahu yang Kamila gunakan untuk ke kota menemui sang selingkuhan agar wanita jahat itu mati di tengah lautan lalu di makan ikan-ikan. Sayangnya, Sarinem lupa untuk berdoa agar Tuhan mencabut cinta di hati Karsiman untuk Kamila terlebih dahulu.
Nurul Fatimah salah satu bukunya yang telah terbit sebuah kumpulan cerpen horor berjudul Adik Sudah Mati (Cabaca, 2018)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
0 Comments:
Posting Komentar